Suryacakrawala.com Tangerang – Seorang siswi SMP yang menjadi korban kekerasan seksual berbasis elektronik justru mendapatkan perlakuan tidak adil dari pihak sekolahnya, SMPN 3 Rajeg, Kabupaten Tangerang. Alih-alih mendapatkan perlindungan dan pendampingan, korban justru menerima sanksi skorsing dari sekolah.
Hal ini diungkapkan oleh kuasa hukum korban dari Tim Advokasi Masyarakat Keadilan Tangerang Utara (TAMKARA), M. Mukhlis Solahudin, S.H., dalam pernyataan resminya kepada media.
“Klien kami merupakan korban kekerasan seksual berbasis elektronik, yang seharusnya dilindungi, bukan malah dipojokkan. Tindakan skorsing dan tidak memfasilitasi pendidikan merupakan bentuk diskriminasi struktural,” tegas Mukhlis, Senin (21/7/25).
Ia menjelaskan, tindakan yang dilakukan pihak sekolah tidak hanya keliru secara moral, namun juga berpotensi melanggar hukum. Menurutnya, korban tetap memiliki hak konstitusional untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Selain itu, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Undang-Undang Perlindungan Anak juga menegaskan kewajiban negara, termasuk lembaga pendidikan, untuk memberikan perlindungan secara menyeluruh terhadap korban, baik secara fisik, psikis, sosial, ekonomi, maupun pendidikan.
Mukhlis menekankan bahwa lembaga pendidikan tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada korban kekerasan. Jika sekolah gagal menciptakan ruang aman bagi korban, maka fungsi pendidikan sebagai pelindung telah gagal dijalankan.
“Kalau korban justru diskorsing atau tidak difasilitasi ujian secara khusus sebagai korban, maka sekolah telah gagal menjalankan fungsinya. Pendidikan tidak boleh digunakan sebagai alat untuk menghukum korban,” tegasnya.
TAMKARA mendesak Pemerintah Daerah, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD), DPRD Kabupaten Tangerang, serta aparat penegak hukum untuk turut aktif memastikan pemenuhan hak-hak korban. Termasuk di dalamnya pendampingan hukum, pemulihan psikologis, dan proses hukum terhadap pelaku.
Dalam pernyataannya, Mukhlis juga menegaskan bahwa kasus ini harus diproses secara hukum sesuai UU TPKS dan UU Perlindungan Anak.
“Terduga pelaku harus diproses secara hukum. Ini bukan hanya soal keadilan bagi korban, tapi juga pesan penting kepada masyarakat bahwa kekerasan seksual tidak bisa ditoleransi,” katanya.
Pernyataan ini ditutup dengan seruan agar institusi pendidikan tidak menambah beban korban melalui tindakan diskriminatif. Korban tetap memiliki hak untuk belajar, mendapatkan perlindungan negara, dan tumbuh dalam lingkungan yang aman.
>Red
0Komentar